2004年12月29日水曜日

It's just sad...

To see such horror happen under our own eyes...
My heart goes to every victim of the Aceh National Disaster, and their families.
May god bless them, may they be able to go through it all bravely, emerging from it with stronger & kinder hearts.

(Merah Putih masih setengah tiang....)

2004年12月27日月曜日

The Problem with Fidelity

Fidelity. Is it really still significant these days?

(Sorry, it's an old journal of mine (& it's entirely in Indonesian..), but I just had to post it)


Aku bingung dengan keadaan akhir-akhir ini. Dimulai dengan tayangan televisi yang ngeributin selebritis yang pada cerai.
Lalu dunia pada umumnya. Dunia fakta. Dunia di sekitarku. Dunia nyata.
Nyata karena aku tahu for a fact that it is how it is. Kenyataan.
Orangtua teman yang bercerai, orangtua teman yang menikah lagi.
Teman yang menikah, dan teman yang sudah cerai beberapa bulan setelahnya.
Apalagi tentang yang pacaran dan putus, itu sudah jadi makanan sehari-hari sejak SMP ‘kali yah…
Bertengkar, berselisih, berantem, berpisah, bercerai. Banyak sebabnya, pasti. Tapi sebenarnya berapa persen, sih, yang alasan berpisahnya adalah karena kehadiran ‘orang lain’? Ternyata banyak juga, ya…?

Ada kisah yang baru saja kudengar. Tadi, nggak sampai satu jam yang lalu. Tentang temanku, sebut saja ‘Wid’, anak yang teralim di antara kami. Teralim, takut ambil resiko, cenderung pendiam dan tertutup, manis, dan paling tenang jika dibandingkan kami yang ramai dan agak-agak ‘barbar’. Wid memang gadis dengan penampila biasa dan cenderung tak menonjol.
Kelompok kami akrab karena sama-sama menjalani beberapa bulan merantau untuk belajar di negeri orang. Sebagai teman senasib, kami langsung akrab, walaupun berbeda tipe dan selera. Bahkan mungkin bila tidak ‘terjerumus’ dalam lingkungan asing tersebut, bisa dibilang kecil sekali kemungkinan kami untuk berkumpul dan membentuk sebuah kelompok, apalagi untuk saling tergantung dan menjalin hubungan sedekat ini.
Di sana Wid menjalin hubungan dengan seorang pemuda setempat, teman kampusnya, yang lebih muda darinya sekitar 3 tahunan. Sejak itu, ia jadi lebih terbuka, lebih ceria, dan tak terlalu kaku. Pendek kata, mereka berdua bahagia dan hubungan itu berdampak positif kepadanya. Kami juga akrab dengan pacarnya itu, anak manis yang pemalu dan agak kekanakan (mungkin faktor usia juga, sih…). Dan hubungan mereka berlanjut sampai kami semua kembali ke Indonesia, hubungan jarak jauh yang membuatku terharu. Melihat mereka berpisah di bandara, membuat aku sendiri terbawa sedih dan menangis. Wid bermata sembab sepanjang perjalanan naik pesawat yang memakan waktu lebih dari 7 jam. Pacarnya menitipkan surat padaku untuk diserahkan ketika pesawat sudah lepas landas. Sungguh seorang laki-laki yang baik dan manis, perasaannya pada Wid yang sungguh-sungguh tampak tulus dan sepenuh hati. Membuat aku yang kala itu sedang ‘bermasalah’ dalam bidang percintaan sangat iri. Hari itu, pandanganku tentang pacar Wid—yang selama ini kuanggap tidak mandiri, kekanakan, dan kecil kemungkinan untuk setia—berubah 180º. Hmm, mungkin nggak sedrastis itu, mungkin hanya sekitar 90º. Agak menyesal jadinya, mengingat aku sering berpikir Wid terlalu menunjukkan perasaannya, dan adanya keinginan dulu untuk berkata padanya agar jangan terlalu berharap banyak dari hubungan dengan seorang pria yang berasal dari negara, budaya, dan pemikiran berbeda. Lebih muda, lagi.
Tapi setelah lama tak bertemu Wid (kami tinggal di kota berbeda di Indonesia), dan lama juga tak ada contact, aku tak memikirkannya lagi. Setahuku, mereka masih berhubungan, dan aku masih sempat mengagumi kegigihan dan ‘kesusahan’ mereka. Sepertinya aku takkan bertahan selama itu tanpa bertemu dengan kekasih. Dan ternyata, pacar Wid menelepon dan mengabari via email setiap hari, malah kadang dua-tiga kali sehari. Ia yang punya segudang kegiatan (aku tahu dia ikut tim atletik di kampusnya, dan latihan mereka gila-gilaan) bela-belain kerja sambilan untuk menabung supaya bisa mengunjungi Wid. ia sempat datang sekitar dua kali, walau aku sendiri tak pernah sempat ikut menemaninya jalan-jalan di sini. Pendek kata lagi, mereka tampak sangat bahagia, dan masing-masing memikirkan cara untuk bisa lebih sering bertemu.
Aku mendapat kabarnya tadi. Via telepon, dari seorang teman kami. Tahun ini, pacar Wid akan lulus. Ia pun sudah mencari (dan menemukan) pekerjaan tetap, suatu hal yang mungkin tak akan dipikirkan terlalu serius oleh pemuda 21 tahunan yang baru lulus dan tidak kekurangan dari segi materi. Di saat teman-temannya yang lain masih bermain-main, gaul, dugem, dan segala yang jauh dari ‘rencana serius’, ia sekarang ada di Indonesia, di kota Wid, dan ia datang untuk membicarakan rencana pernikahan. Ia datang dengan segudang kabar baik yang telah ia rajut dengan susah-payah selama ini, bahwa selama ini ia belajar keras hingga bisa lulus cepat, dan bisa cepat dapat pekerjaan yang mantap. Bahwa ia selama ini ternyata telah menabung sebanyak setara dengan 85 juta rupiah, agar Wid dapat leluasa berkunjung kembali ke negaranya tanpa kekhawatiran apa-apa. Bahwa ia telah memikirkan segalanya selama dua tahun lebih ini, bahwa ia hanya memikirkan Wid selama ini pula. Bahwa ia telah berusaha demi satu tujuan, yaitu kebahagiaan Wid, dan kebersamaan mereka. Tapi, apa yang terjadi?
Dalam perjalanan dari bandara Soekarno-Hatta ke kota Wid, di dalam bus malam, Wid memutuskan hubungan. Wid hanya memberikan alasan, “Perasaanku sudah berubah, sudah tak sama lagi”. Dan ia ditinggalkan di rumah orangtua Wid begitu saja, sementara Wid kembali ke tempat kost-nya di kota yang berbeda.
Aku mendengar dari teman kami, Wid sedang menjalin hubungan dengan rekan sekantornya, sejak beberapa waktu lalu. Dan rekannya itu sudah berkeluarga. Duh, aku nggak percaya. Tuhan, ke mana perginya Wid yang kukenal? Wid yang paling alim di antara kami, paling tenang, paling dewasa, pendiam dan baik hati? Yang berubah ceria dan lebih ramai setelah memiliki kekasihnya itu?
Ketika ditanya, bagaimana nasib mantan kekasihnya yang terlunta-lunta di kota asing yang jauh dari keramaian, kota yang tak dikenalnya, kota asal kekasihnya yang mencampakkannya? Wid hanya berkata, “Ia pulang Sabtu ini, tolong diantar ke bandara ya”. Bagaimana bisa temanku itu berubah jadi begitu dingin? Sekarang kami yang kebingungan, harus bagaimana kami. Kami ingin membantu pemuda baik itu, tapi bagaimana, sementara kami tinggal dan bekerja di kota yang jauh dari kota Wid, dan kami tak bisa begitu saja pergi meninggalkan pekerjaan kami sendiri. Tak bisa seperti pemuda itu, yang tetap menyerahkan uang hasil tabungannya dua tahun itu pada Wid, supaya Wid bisa pergi ke negaranya kalau berubah pikiran (kembali), atau untuk apapun.
Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan pemuda itu, dicampakkan dan ditinggalkan di kota asing, jauh, dan tak berdaya karena tak mengenal daerah itu dengan baik. Di tengah keluarga mantan kekasihnya yang begitu dingin. Mantan kekasih yang masih dicintainya sepenuh hati. Hatiku ikut hancur mendengar cerita ini. Terutama jika mengingat kebahagiaan mereka dulu. Dan betapa dalamnya cinta pemuda itu, pemuda yang dulu kuremehkan, kuanggap tidak mandiri, kekanakan, dan kecil kemungkinan untuk setia. Anggapan yang ternyata salah sama sekali.
Sabtu ini dia akan kembali ke negaranya, menyeret hatinya yang sudah terburai menjadi berjuta keping mikroskopis, walau masih menyisakan gruatan cintanya pada Wid dalam tiap celahnya.
Ah, dulu kami sering memperlakukannya seperti anak kecil, memanggilnya dengan sebutan “nak”, “adikku”, atau “anak kecil”, walau kenyataannya ia hanya beberapa tahun lebih muda dari kami. Tapi segala usahanya demi Wid dan sikapnya menghadapi perlakuan Wid membuktikan bahwa ia ternyata jauh lebih dewasa daripada kami.
“Ah, kasihan kamu, Nak.”
Tidak, aku takkan memanggilnya “nak” lagi. Karena dia seorang laki-laki dewasa. Laki-laki yang menunjukkan ‘ke-macho-an’nya bukan dengan otot atau kekuasaan, tapi dengan kegigihan dan kedewasaan, cintanya yang sungguh-sungguh, komitmennya yang dalam, dan hatinya yang luas. Semoga peristiwa ini tak mengubah semua kualitasnya itu. Semoga. Kudoakan kebahagiaan untukmu, ‘adik’ yang lebih dewasa dariku.

Semua ini membuatku berpikir, apa yang bisa membuat seseorang berubah begitu drastis? Kenapa perasaan yang begitu penting bisa hilang begitu saja? Kenapa ‘fidelity’ yang mendasari hubungan yang begitu indah bisa menghancurkannya, hanya dengan tambahan imbuhan prefiks ‘in-’? Apakah memang sebuah hubungan bisa hancur semudah itu? Semudah menambahkan satu suku kata pada sebuah kata? Semudah membalik telapak tangan, bisakah kita mengubah perasaan kita pula?
Aku tak tahu jawabannya, dan aku ingin tahu.

(Jakarta, awal September 2004)

Me & my boyf. Aren't we the perfect-smiling-happy couple here? ;) Posted by Hello

Me & Mom in the front yard Posted by Hello

Me with two friends from the good-old-high-sch.-days... a photobox pic made @MTA Posted by Hello

2004年12月25日土曜日

Finally Succumbed to Creating Yet Another....

Yup, this is my nth blog/journal site....
I seem to forget my sites/blog's name easily & then, hey, WTF, let's just create another. They're free and easy to do anyway.

This, yet again, is going to be about MOI, the ever-narcissistic being who indulges in nothing but self-possessive-obsessive-compulsive nothings.